Rabu, 23 Desember 2009

Insan Kamil (Wahdat Al Wujud)

Manusia sempurna adalah manusia yang snaggup berproses kedalam kemanunggalan. Sehingga manusia sempurna dalam dirinya berhadapan dengan semua individualisasi eksistensi. Dengan spiritualitasnya, ia berhadapan dengan individualisasi yang lebih tinggi; dengan jasadnya, ia berhadapan dengan individualisasi yang lebih rendah. Hatinya bertemu dengan “Obor Tuhan”(al Arsy), jiwanya bertemu dengan Pena (Qalam), dan rohnya berhadapan dengan lauh al mahfudz. Dalam bahasa SSJ, jasadnya berada di alam kematian, sukmanya mengarah pada kehidupan sejati.

Menurut SSJ, sebagaimana menurut al-Jili dan Ibn “Athaillah (walaupun dalam dataran filosofis), manusia sempurna merupakan copy (nuskha) Tuhan. Hal ini juga didasarkan pada pernyataan hadis bahwa Tuhan menciptakan Adam dalam bayangan dirinya. Demikian pula bahwa al asma’ al husna merupakan perwatakan yang harus disifati oleh manusia. Sehingga proses yang berlangsung setelah penciptaan substansi, maka al asma’ al husna dikonfrontasikan dengan sifat ke-Adaman; ke-Dia-an-Nya (Huwiyya) yang Illahi dikonfrontasikan dengan ke-dia-an Adam; ke-Aku-an Ilahinya dikonfrontasikan dengan kesadaran “aku Adam”, dan esensi Illahinya dengan esensi Adam. Demikianlah, maka dari proses tersebut terkandung implikasi, khususnya pad konteks al insane al kamil.

Menurut SSJ, nama esensial dan sifat-sifat Illahi pada dasarnya menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu suatu keniscayaan yang inhern dalam esensi kemanusiaan. Sehingga dalam hal ini banyak pernyataan Tuhan berfungsi sebagai kaca (mir’u) bagi manusia. Demikian juga halnya bahwa manusia menjadi kaca tempat Tuhan melihat diri-Nya. Sebagai kaca yang dipakai seseorang untuk melihat bentuk dirinya dan tidak bisa melihat dirinya itu tanpa ada kaca tersebut, maka demikian itulah halnya hubungan yang berlangsung antara Allah dengan al insane al kamil. Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa manunggaling kawula Gusti terjadi karena sifat asma Allah menjadi “hak fundamental bagi manusia sempurna”. Hal ini memungkinkan manusia melakukan proses tashfiyat al qulub wa tazkiyat al nafs melalui maqamat dan disiplin kuat menempuh laku spiritual. Dalam hal ini, perjalanan spiritual memang memerlukan kehendak yang kuat. Karena “mereka yang beruntung” mendapatkan anugerahnya jumlahnya lebih sedikit dibanding “mereka yang kurang beruntung”. Bagi “yang kurang beruntung” sangat dibutuhkan kemauan kuat dan disiplin laku yang tinggi agar mampu meraih hak-hak fundamentalnya sebagai manusia sempurna.

Menurut Ranggawarsita (suluk Sopanalaya) untuk dapat manunggal memang diperlukan dzikir dan lelaku sebagai amantu hakikat. “mengheningkan cipta dan merenungkan hakikat Tuhan dengan disertai hati yang penuh kerinduan untuk mendapatkan hidayah-Nya. Barangsiapa yang menerima rahmat dan hidayah-Nya ia dapat manunggal dengan Tuhan”. Hak fundamental inilah yangmenjadikan ajaran SSJ memiliki pengaruh yang kuat karena berefek pada terciptanya semangat egaliter. Semua manusia memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam laku beragama, serta mendapatkan pengalaman spiritual yang tinggi.

Manusia tidak mungkin dapat melihat bentuknya sendiri kecuali melalui kaca Allah, sama halnya ketika dia juga menjadi kaca bagi Tuhan, karena Tuhan ingin agar dirinya melihat dia sendiri dan dikenali. Agar dikenali manusia itulah manusia semprna diciptakan sehingga dengan kaca manusioa, Allah akan melihat Diri-Nya. Dalam hal ini SSJ meyakini dan mengalami bahwa manusia bisa menjadi “mirip” Tuhan, bahkan bisa “memasuki” Tuhan sepenuhnya. Hanya saja tidak mungkin sampai mengindentifikasikan bahwa dirinya adalah sepenuhnya Tuhan. Apalagi bahwa ruh dan jiwanya yang “serba Tuhan” tersebut masih terperangkap di dalam “mayat hidup” dalam bentuk jasad fisik.

Tidak ada komentar: